Jumat, 21 Februari 2014

Teknologi Pesawat Tanpa Awak Indonesia Lebih Maju di Kawasan ASEAN

UAV buatan PT Aviator Teknologi Indonesia (ATI) diperlihatkan dalam
sebuah pameran Indo-Defense 2008 lalu.
Perkembangan dan Prospek UAV Di Indonesia

Teknologi pesawat tanpa awak di Indonesia diklaim paling maju di kawasan Asia Tenggara. Misalnya dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura. Singapura memang memiliki resource yang bagus. Namun jika ditelusuri, SDM-nya justru dari Indonesia, misalnya dari ITB.
Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Karena luasnya medan operasi di hutan Mapenduma, Jayawijaya, Kopassus meminta bantuan pesawat pengintai (UAV) dari negara lain, untuk mendeteksi keberadaan OPM. Pengintaian dilakukan untuk mengatur strategi penggelaran operasi militer.
Pemanfaatan UAV ternyata berhasil dengan baik, dalam pengejaran dan penyelamatan yang sukses dilakukan Kopassus. Keberhasilan penggunaan UAV ini adalah awal bangkitnya pengenalan pesawat intai portabel di TNI untuk dapat mengatur strategi pasukan di lapangan. Dan menjadi awal pemikiran akan teknologi pesawat intai portabel yang bisa digunakan untuk operasi militer. TNI menyadari selain menggunakan pesawat intai dan radar, ada gap yang belum tercover dan hanya bisa ditutupi oleh UAV.
UAV Nasional
Penelitian dan pengembangan (litbang) UAV di Indonesia telah lama dilakukan. Pertama kali yang merintis teknologi ini adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1999. Almarhum Prof Dr Said D Jenie merupakan salah seorang penggerak hadirnya UAV di Indonesia. Beliau yang pertama kali mencanangkan peta jalan bagaimana Indonesia mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV).
Awal-awal pengembangan UAV oleh BPPT dimulai dengan pembuatan target drone untuk sasaran tembak TNI. Seiring dengan itu dibuat juga wahana tanpa awak bernama Rutav single boom dan double boom berkerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun karena memburuknya kinerja PT DI saat itu mengakibatkan proyek ini tertunda.
Lalu BPPT melakukan riset sendiri dengan membuat beberapa prototipe PUNA (Pesawat Udara Nir Awak). Hingga kini BPPT sudah memproduksi 10 unit, generasi pertama tercipta PUNA degan tiga varian, yaitu Wulung (2006), Pelatuk dan Gagak (2007). BPPT lalu mengembangkan PUNA generasi kedua, dengan nama Alap-alap dan Sriti.
UAV Wulung
UAV BPPT-01A Wulung.
Untuk mewujudkan berbagai macam prototipe PUNA, BPPT berkerjasama dengan pihak swasta, PT Aviator Teknologi Indonesia dan UKM Djubair OD yang mempunyai bengkel pesawat di kawasan Pondok Cabe, Tangerang.

Prototipe pertama UAV nasional diperkenalkan ke umum pada pameran Indo-defence 2004 di PRJ Kemayoran, Jakarta. Saat itu Industri Pertahanan Indonesia (IPI) menampilkan UAV berbobot 35 kilogram dengan panjang 2,5 meter dan rentang sayap mencapai 5 meter. UAV tersebut belum diberi nama, hanya terdapat tulisan 'Departemen Pertahanan'.

Badan UAV berbentuk seperti ujung pensil dan panjang. Sedangkan di bagian belakang terdapat mesin piston mini, lengkap dengan propeler yang menjadi tenaga penggerak utama. Untuk kepentingan pengintian, dibawah pesawat dipasang kamera mini. Sedangkan untuk mengirim hasil pengintaian digunakan antena yang terhubung dengan satelit melalui sinyal GPS.

Soal kemampuan, UAV mampu mengudara selama 3 jam tanpa mengisi bahan bakar. Selain itu, mampu terbang hingga ketinggian 3.000 kaki atau sekitar 1.000 meter. Sedangkan untuk jarak terbang, UAV dikontrol melalui Ground Control Station pada jarak 20 kilometer.


UAV Sriti buatan BPPT

Puna Sriti
Dalam pengembangan UAV Balitbang Dephan berkerjasama dengan PT Uavindo Nusantara sempat merancang prototipe UAV khusus untuk kepentingan militer dengan nama Close Range Surveilance (CR-10). CR-10 ini dirancang untuk keperluan misi pemantauan dan pengintaian, dan tergolong kelas Low Altitude, Short range UAV. CR-10 menggunakan dua sistem pengendalian yakni unit udara dan unit stasiun darat. Meski telah menjalani beberapa ujicoba, CR-10 dengan avionik buatan dalam negeri ini gagal dikembangkan.
UAV KUJANG diproduksi oleh PT. GTSI
PT Dirgantara Indonesia, sebenarnya memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk urusan UAV, wong membuat pesawat saja bisa.Tapi sayang, PT DI baru bisa menghasilkan prototipe UAV kelas ringan dengan nama RUTAV. Alasan utama adalah tiadanya dana.
PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI) didirikan oleh Endri Rachman, mantan karyawan PT DI yang hijrah ke Malaysia menjadi dosen di Universiti Sains Malaysia. Beliau dan bersama sesama mantan karyawan PT DI mendirikan perusahaan PT GTSI. UAV perdananya adalah Kujang , mampu membawa muatan kamera survaillance 20 kg, lama terbang 2-3 jam dengan kecepatan maksimal sampai 150 km/jam. Ironisnya, peminat pertama UAV Kujang ini adalah Malaysia, bukan pemerintah Indonesia. Selain UAV Kujang, PT. GTSI telah berhasil menbuat pesawat UAV lainnya seperti UAV Keris dan UAV Bumerang.
SS-5 diproduksi oleh PT.UAVINDO
PT Uavindo sudah mengembangkan UAV sejak 1994 di mana dimulai dengan berkumpulnya para insinyur lulusan Teknik Penerbangan ITB dengan dimotori Dr Djoko Sardjadi. Produk pertamanya adalah SS-5 (SkySpy-5) di tahun 2003 yang kemudian menjadi UAV lokal pertama yang dioperasikan oleh militer, lengkap dengan Ground Control Station yang ditempatkan pada sebuah truk Perkasa keluaran Texmaco. SS-5 ini mampu terbang selama 2-3 jam dengan jarak sampai 25 km untuk fungsi survaillance melalui kamera yang dibawanya. Saya tidak tahu apakah TNI masih menggunakan produknya (selanjutnya ada pengembangan ke SS-20), tapi ironisnya Malaysia memesan UAV SM-75 dari perusahaan ini.
PT Aviator, dibentuk oleh beberapa mantan karyawan PT Uavindo. Produk unggulannya adalah SmartEagle II , mampu terbang selama 6 jam dengan jarak maksimum 300 km. Bisa diadu dengan Searcher Mk II dari Israel, hanya sayangnya berat muatan maksimum hanya sampai 20 kg, bandingkan dengan beban 100 kg yang mampu dibawa oleh Searcher Mk II. Sekarang PT Aviator menggandeng Irkuts dari Rusia untuk memasarkan produk secara bersama.
Smart Eagle II diproduksi oleh PT. AVIATOR
PT Robo Aero Indonesia (RAI) didirikan oleh beberapa dosen ITB yang melihat peluang besar bisnis UAV di dalam maupun luar negeri. Mereka sudah membuat prototipe UAV dengan jarak operasional 20 km, 50 km dan 100 km secara otonomi. UAV buatan mahasiswa Teknik Penerbangan ITB sudah mampu unjuk gigi dengan menjuarai kontes UAV di Taiwan dan Korea Selatan.
BPPT juga sudah membuat beberapa prototipe UAV yang dalam produksi dan pemasarannya menggandeng PT Aviator dan UKM Djubair OD di Tangerang.

Sumber : Dipl.-Ing. Endri Rachman dari Kompasiana - Internet online

1 komentar: